Direktorat Jenderal Pajak merilis penerimaan pajak sampai bulak Oktober 2014, hanya mencapai Rp 773,3 triliun. Dari total penerimaan, rinciannya, PPh non migas, dari target Rp 485,9 triliun hanya tercapai Rp 362,4 triliun, PPN dan PPnBM target Rp 475,5 triliun hanya tercapai Rp 316,6 triliun. PBB 21,7 triliun tercapai 14,7 triliun. Pajak lain dari target Rp 5,1 tercapai Rp 4,8 triliun. PPh Migas 83,8 tercapai 74,5.
Menteri Keuangan memastikan potensi penerimaan pajak tahun ini sulit sesuai target. Secara jujur Bambang mengakui banyak kanwil pajak menyerah dan tidak bisa menarik pajak.
Bambang menuturkan, sulitnya mencapai target pendapatan pajak lantaran banyak masalah. Salah satunya data wajib pajak yang dimiliki setiap kantor wilayah. Faktor lain, tingkat kepatuhan masyarakat dan perusahaan membayar pajak masih tergolong rendah. Bahkan, bisa disebut orang Indonesia malas membayar pajak.
1.
Di Sumsel dan Bangka Belitung cuma 38 orang yang bayar pajak
Rendahnya tingkat kepatuhan orang
Indonesia dalam hal membayar pajak menjadi salah satu faktornya. Seperti
yang tergambar dari data Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak
Sumatera Selatan dan Kepulauan Bangka Belitung.
Banyak orang kaya di dua provinsi tersebut tidak membayar pajak atau membayar pajak dengan nilai yang tidak sesuai ketentuan. Bahkan, tingkat kepatuhannya sangat rendah.
"Berdasarkan data yang dihimpun petugas di lapangan, dari 736.000 wajib pajak orang pribadi di Sumsel dan Babel, hanya 38 orang yang membayar pajak dengan nilai Rp 65 juta," kata Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Sumatera Selatan dan Kepulauan Bangka Belitung Samon Jaya seperti dilansir Antara, Senin (10/11).
Banyak orang kaya di dua provinsi tersebut tidak membayar pajak atau membayar pajak dengan nilai yang tidak sesuai ketentuan. Bahkan, tingkat kepatuhannya sangat rendah.
"Berdasarkan data yang dihimpun petugas di lapangan, dari 736.000 wajib pajak orang pribadi di Sumsel dan Babel, hanya 38 orang yang membayar pajak dengan nilai Rp 65 juta," kata Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Sumatera Selatan dan Kepulauan Bangka Belitung Samon Jaya seperti dilansir Antara, Senin (10/11).
2.
Pengusaha di DKI malas bayar pajak dengan sistem online
Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI
Jakarta sudah menerapkan sistem online untuk pembayaran pajak. Sementara
ini pembayaran pajak online diberlakukan untuk pajak hotel, restoran,
hiburan dan parkir, namun masih terkendala teknologi.
Kepala Dinas Pajak DKI Jakarta Iwan Setiawandi mengatakan, dari 11 ribu wajib pajak hotel, restoran, hiburan dan parkir baru 4.000 yang sudah menggunakan sistem online. Untuk menjalankannya Pemprov DKI Jakarta bekerja sama dengan Bank BRI.
"Latar belakang online sistem sebagai salah satu instrumen melakukan pengawasan wajib pajak. Sebab untuk jenis pajak hotel, hiburan, restoran dan parkir menggunakan pemungutan self assessment," jelas Iwan di Balai Kota DKI Jakarta, Selasa (4/11).
Untuk kendala penerapan sistem online, Iwan mengatakan, masih banyak pengusaha yang memilih untuk menggunakan sistem manual. Sehingga rekap pembayaran pajak tidak dapat dilakukan. Terlebih, mereka enggan membeli mesin yang terkoneksi dengan bank.
"Padahal BRI sudah menawarkan untuk ganti mesin wajib pajak dengan sistem kredit tanpa bunga. Tapi tetap aja masih susah. Padahal harganya cuman Rp 4 juta hingga Rp 7 juta bisa dicicil selama setahun," ujar Iwan.
Kepala Dinas Pajak DKI Jakarta Iwan Setiawandi mengatakan, dari 11 ribu wajib pajak hotel, restoran, hiburan dan parkir baru 4.000 yang sudah menggunakan sistem online. Untuk menjalankannya Pemprov DKI Jakarta bekerja sama dengan Bank BRI.
"Latar belakang online sistem sebagai salah satu instrumen melakukan pengawasan wajib pajak. Sebab untuk jenis pajak hotel, hiburan, restoran dan parkir menggunakan pemungutan self assessment," jelas Iwan di Balai Kota DKI Jakarta, Selasa (4/11).
Untuk kendala penerapan sistem online, Iwan mengatakan, masih banyak pengusaha yang memilih untuk menggunakan sistem manual. Sehingga rekap pembayaran pajak tidak dapat dilakukan. Terlebih, mereka enggan membeli mesin yang terkoneksi dengan bank.
"Padahal BRI sudah menawarkan untuk ganti mesin wajib pajak dengan sistem kredit tanpa bunga. Tapi tetap aja masih susah. Padahal harganya cuman Rp 4 juta hingga Rp 7 juta bisa dicicil selama setahun," ujar Iwan.
3.
Penerimaan pajak di era SBY cuma naik 0,1 persen
Presiden Jokowi mengeluhkan rendahnya penerimaan pajak di era kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
"Kalau dilihat rasio sepuluh tahun terakhir ini hanya naik 0,1 persen. Sejak tahun 2005-2013 penerimaan pajak tidak pernah tercapai. Kemudian juga tax coverage rasio hanya 53 persen," ungkap Jokowi saat membuka sidang kabinet terbatas di Kantor Presiden, Jakarta, Kamis (29/10).
"Kalau dilihat rasio sepuluh tahun terakhir ini hanya naik 0,1 persen. Sejak tahun 2005-2013 penerimaan pajak tidak pernah tercapai. Kemudian juga tax coverage rasio hanya 53 persen," ungkap Jokowi saat membuka sidang kabinet terbatas di Kantor Presiden, Jakarta, Kamis (29/10).
4.
Masyarakat perlu diancam dulu supaya bayar pajak
Pemerintah masih harus jemput bola
untuk memungut pajak. Pasalnya, hanya sekitar 20 persen masyarakat
Indonesia yang sukarela membayar pajak. Sisanya, masih harus dipaksa.
"Karena nggak ada cerita, orang kalau dilayani, pasti bayar pajak. Omong kosong. 80 persen masyarakat Indonesia, seperti, Amerika Serikat, Jepang, Jerman, harus didatangin ditelponin, kalau perlu diancam," kata Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Fuad Rahmany, Jakarta, Selasa (28/10).
Atas dasar itu, Fuad mengakui bahwa pihaknya membutuhkan anggaran operasional besar. Itu digunakan untuk mendatangi jutaan wajib pajak yang belum taat memenuhi kewajibannya kepada negara.
"Wajib pajak itu harus didatangi, kita nggak ada pilihan. Itu kalau nggak didatangi nggak bayar pajak, tarsok-tarsok (sebentar-besok) mulu. Kalau pasif inilah yang terjadi, penerimaan pajak mandeg terus," kata Fuad.
"Karena nggak ada cerita, orang kalau dilayani, pasti bayar pajak. Omong kosong. 80 persen masyarakat Indonesia, seperti, Amerika Serikat, Jepang, Jerman, harus didatangin ditelponin, kalau perlu diancam," kata Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Fuad Rahmany, Jakarta, Selasa (28/10).
Atas dasar itu, Fuad mengakui bahwa pihaknya membutuhkan anggaran operasional besar. Itu digunakan untuk mendatangi jutaan wajib pajak yang belum taat memenuhi kewajibannya kepada negara.
"Wajib pajak itu harus didatangi, kita nggak ada pilihan. Itu kalau nggak didatangi nggak bayar pajak, tarsok-tarsok (sebentar-besok) mulu. Kalau pasif inilah yang terjadi, penerimaan pajak mandeg terus," kata Fuad.
5.
40 Juta orang tak bayar pajak
Direktorat Jenderal Pajak meminta
bantuan Direktorat Jendral Administrasi Hukum Umu (AHU) Kemenkumham
untuk sinkronisasi data wajib pajak dan tingkat kepatuhannya. Selama
ini, dari data Ditjen Pajak, sebagian besar wajib pajak baik pribadi
maupun badan, tidak taat menjalankan kewajibannya menyetorkan pajak.
Dia menjelaskan, sejauh ini penerimaan pajak mencapai Rp 1000 triliun dan menjadi Rp 1200 triliun bila digabung dengan Bea Cukai. Fuad kembali memaparkan data rendahnya tingkat kepatuhan wajib pajak di dalam negeri.
Dari 28 juta wajib pajak badan, baru 10 juta yang menjalankan kewajibannya. Sedangkan orang pribadi, lanjut Fuad, jumlah yang tak taat bayar pajak lebih fantastis. Hampir 40 juta orang tidak bayar pajak.
"Orang pribadi yang bayar pajak itu 23 juta dari potensi 60 juta," jelasnya.
Direktur Jenderal Pajak Kementerian
Keuangan, Fuad Rahmany geram melihat fakta bahwa setengah dari penduduk
mampu di Indonesia alpa membayar pajak. Menurutnya, tingkat kepatuhan
penduduk Indonesia membayar pajak sangat rendah.
"Ini membuat bangsa susah maju. Ini masalah ketidakadilan yang sangat serius," ujarnya saat konferensi pers terkait Koordinasi Pengamanan Penerimaan Pajak Tahun 2014 dan Penanganan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan dengan Kepolisian Republik Indonesia, di Kantornya, Jakarta, Senin (18/8).
Dia menjelaskan, sejauh ini penerimaan pajak mencapai Rp 1000 triliun dan menjadi Rp 1200 triliun bila digabung dengan Bea Cukai. Fuad kembali memaparkan data rendahnya tingkat kepatuhan wajib pajak di dalam negeri.
Dari 28 juta wajib pajak badan, baru 10 juta yang menjalankan kewajibannya. Sedangkan orang pribadi, lanjut Fuad, jumlah yang tak taat bayar pajak lebih fantastis. Hampir 40 juta orang tidak bayar pajak.
"Orang pribadi yang bayar pajak itu 23 juta dari potensi 60 juta," jelasnya.
6.
Separuh orang mampu di Indonesia alpa bayar pajak
Direktur Jenderal Pajak Kementerian
Keuangan, Fuad Rahmany geram melihat fakta bahwa setengah dari penduduk
mampu di Indonesia alpa membayar pajak. Menurutnya, tingkat kepatuhan
penduduk Indonesia membayar pajak sangat rendah."Ini membuat bangsa susah maju. Ini masalah ketidakadilan yang sangat serius," ujarnya saat konferensi pers terkait Koordinasi Pengamanan Penerimaan Pajak Tahun 2014 dan Penanganan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan dengan Kepolisian Republik Indonesia, di Kantornya, Jakarta, Senin (18/8).
wahhh patut di telusuri itu masa masih banyak orang yang malas bayar pajak sii
ReplyDeleteTerkait hal itu memang sekarang pada dasarnya orang berfikir bayar pajak tidak ada gunanya. Namun perlu diketahui bahwasannya pendapatan Negara sebesar 70% berasal dari pemungutan pajak. Tanpa adanya orang yang bayar pajak maka negara kita tidak akan berjalan.
ReplyDelete